Cari

Kamis, 19 Mei 2011

PERTANYAAN DI AKHIRAT

Di antara serangkaian kejadian yang harus diimani dan pasti akan terjadi pada hari kiamat nanti adalah hari penghisaban. Hari dimana semua perbuatan dan prilaku manusia, baik yang mukmin dan yang kafir, selama hidup didunia akan dimita pertanggung jawaban dihadapan Allah SWT.

Pada hari itu Allah akan meberikan pertanyaan-pertanyaan yang tentunya semua manusia tidak akan bisa berbohong karena ketika mulut mereka berbohong maka anggota tubuh yang lain akan menjadi saksi dan ikut berbicara, Alquran telah menerangkan apa saja yang akan Allah pertanyakan kepada manusia diakhirat nanti, diantaranya.

Pertama, Khusus bagi orang musyrik dan orang kafir Allah akan mempertanyakan berhala-berhala yang mereka sembah didunia, dimana ketika mereka akan menghadapi siksaan neraka, berhala-berhala yang mereka sembah tidak bisa menolong mereka. Dan dikatakan kepada mereka: "Dimanakah berhala-berhala yang dahulu kamu selalu menyembah(nya) selain dari Allah? Dapatkah mereka menolong kamu atau menolong diri mereka sendiri?" (QS Asy Syu'araa'[26]:92-93)

Kedua, Allah akan menanyakan apa yang dikerjakan manusia sepanjang hidupnya didunia, “ Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu”. (QS Al Hijr [15]:92-93)

Ketiga, Allah akan menanyakan tentang nikmat-Nya yang selama ini diberikan kepada manusia, apakah manusia itu bersyukur dan menggunakannya dijalan yang diridhai Allah atau apakah mereka kufur nikmat dan menggunakannya untuk bermaksiat dan bermegah-megahan. “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (QS At Takaatsur[102]:8)

Keempat, Allah akan menanyakan tentang panca indra, apakah digunakan untuk mengimani dan beribadah Allah atau digunukan untuk inkar dan bermaksiat kepada Allah. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Israa' [17]:36). Allah telah memberikan gambaran pertanyaan nanti di akhirat semoga kita mempersiapkan jawaban yang akan diberikan kepada Allah, dan tentunya hanya amalan-amalan kita yang akan menjawabnya. Wallahua`lam bi ash-Shawab

HARUSKAH MENOLAK PINANGAN KHITBAH (PINANGAN)

SAHABAT Bilal melamar seorang wanita Quraisy (suku terhormat) untuk dinikahkan dengan saudaranya. Ia berkata kepada keluarga wanita Quraisy, “Kalian telah mengetahui keberadaan kami. Dahulu kami adalah para hamba sahaya, lalu kami dimerdekakan Allah l. Kami dahulu adalah orang-orang tersesat, lalu kami diberikan hidayah oleh Allah l. Kami dulunya fakir, lalu kami dijadikan kaya oleh-Nya. Kini, kami akan melamar wanita Fulanah ini untuk dijodohkan dengan saudaraku. Jika kalian menerimanya, maka alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Dan, bila kalian menolak, maka Allahu akbar (Allah Maha Besar).”
Anggota keluarga wanita itu tampak saling memandang satu dengan yang lainnya. Mereka lalu berkata, “Bilal termasuk orang yang kita kenal kepeloporan, kepahlawanan, dan kedudukannya di sisi Rasulullah n. Maka, nikahkanlah saudaranya dengan putri kita.” Mereka lalu menikahkan saudara Bilal dengan wanita Quraisy tersebut. Usai itu, saudara Bilal berkata kepada Bilal, “Mudah-mudahan Allah l mengampuni. Apa engkau menuturkan kepeloporan dan kepahlawanan kami bersama dengan Rasulullah, sedang engkau tidak menuturkan hal-hal selain itu?”
Bilal menjawab, “Diamlah saudaraku, kamu jujur, dan kejujuran itulah yang menjadikan kamu menikah dengannnya.” (Al Mustathraf, I : 356).
Tidak mudah memang mengambil langkah besar melamar seorang wanita. Di manapun lelaki biasanya merasa deg-degan untuk memulainya. Ada perasaan takut ditolak serta harapan untuk diterima membuat langkah jadi maju-mundur. Tapi, memang harus ada keberanian untuk mencoba agar jelas dan tak mati penasaran dibuatnya. Mungkin, perasaan ini mewakili mayoritas perasaan kaum laki-laki.
Maklum, dalam proses mewujudkan harapan berumah tangga banyak rintangan dan tantangan yang menghadang seseorang. Salah satunya adalah masalah khitbah (melamar calon istri). Banyak pernik-pernik yang menghiasi perjalanan seseorang dalam proses lamarannya.
Namun, tidak selamanya pinangan berujung pada pernikahan. Kadang kala, pinangan harus berhenti sebelum dilangsungkannya ijab qabul, dalam arti tidak selamanya pinangan harus diterima oleh yang pihak yang meminang, atau orang yang meminang mengurunkan niatannya untuk melangkah lebih jauh, yakni pernikahan. Berikut ini akan dibahas seputar perjalanan sebuah pinangan yang kandas di tengah jalan. Bagaimana kita menyikapinya dan apa yang musti kita lakukan ketika kita membatalkan pinangan?
Hukum meminang
Khitbah atau meminang bukanlah syarat sahnya sebuah pernikahan. Seandainya sebuah pernikahan dilaksanakan tanpa khitbah sekalipun, pernikahan tersebut tetap sah. Pada umumnya, khitbah merupakan jalan menuju pernikahan. Menurut jumhur ulama, khitbah itu diperbolehkan, sesuai dengan firman Allah swt, “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu…” (Al-Baqarah [2] : 235)
Pendapat yang dipercaya oleh para pengikut mazhab Syafi‘i adalah khitbah hukumnya sunnah, sesuai dengan perbuatan Rasulullah n, di mana beliau meminang Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar c. Hal ini boleh dilakukan jika pada diri wanita tersebut tidak ada penghalang yang membuatnya tidak boleh dinikahi. Jika ada penghalang, maka khitbah tidak boleh dilakukan.
Dalam kitab Hasyiyah ‘alal Muhalla, Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi berkata, “Sesungguhnya khitbah itu memiliki hukum yang sama dengan hukum pernikahan, yaitu; wajib, sunnah, makruh, haram, ataupun mubah. Sunnah jika pria yang akan meminang termasuk orang yang disunnahkan untuk menikah. Contohnya, orang yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, dan ia tidak merasa khawatir dirinya akan terjerumus dalam perzinaan. Makruh, jika pria yang akan meminang termasuk orang yang dimakruhkan baginya untuk menikah. Sebab, hukum sarana itu mengikuti hukum tujuan.
Khitbah yang hukumnya diharamkan menurut ijma‘ adalah mengkhitbah wanita yang sudah menikah, mengkhitbah wanita yang ditalak dengan talak raj‘i sebelum selesai masa iddahnya, sebab statusnya masih sebagai wanita yang telah menikah.
Sedangkan, khitbah juga diharamkan bagi orang yang memiliki empat istri, termasuk khitbah terhadap wanita yang antara dirinya dan istri si peminang diharamkan untuk disatukan sebagai istri, mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah oleh orang lain dan lain-lain yang akan dijelaskan nanti.
Khitbah hukumnya wajib bagi orang yang merasa khawatir akan terjerumus dalam perzinaan jika tidak segera meminang dan menikah. Sedangkan, khitbah hukumnya mubah dan halal jika wanita tersebut dalam kondisi kosong dari pernikahan, serta tidak ada suatu halangan hukum yang menghalangi untuk dilamar.
Membatalkan Pinangan
Perlu dipahami sebelumnya bahwa pinangan itu bukanlah ikatan. Ia hanyalah janji untuk mengikat suatu. Sedangkan janji untuk mengikat suatu itu tidak selalu harus terlaksana, menurut jumhur ulama. Sehingga, sang wali tidak salah bila menarik kembali jawabannya bila ia melihat adanya suatu maslahat bagi wanita yang dipinang.
Wanita yang dipinang itu sendiri tidak ada salahnya bila ia menarik kembali janjinya bila tidak menyukai si peminang. Sebab, nikah merupakan ikatan seumur hidup, di mana kekhawatiran akan terus-menerus ada di dalamnya. Karena itu, wanita yang hendak menikah harus berhati-hati dengan dirinya sendiri dan memperhatikan keberuntungannya.
Akan tetapi, apabila wali atau tunangan menarik kembali janji tersebut tanpa tujuan apa pun, hal itu tidak dibenarkan. Karena itu termasuk pengingkaran janji dan menjilat ludah sendiri. Namun, hukumnya tidak sampai haram, karena sebenarnya itu belum wajib baginya. Ini seperti seseorang yang menawar suatu barang kemudian muncul niat pada dirinya untuk tidak jadi membelinya.
Seorang peminang juga makruh meninggalkan wanita yang telah dilamarnya, bila sang wanita telah cenderung kepadanya, sementara para peminang yang lain telah tertutup jalannya untuk meminangnya, karena ia hanya tertarik kepada si peminang itu.
Atas dasar inilah, hukum membatalkan lamaran  sesudah adanya kecenderungan masing-masing pihak itu berbeda-beda, menurut perbedaan penyebabnya :
1.    Bila pembatalan tersebut karena tujuan yang benar, maka hal itu tidak makruh.
2.    Bila pembatalan tersebut tidak ada sebabnya, maka hal itu makruh, karena itu dapat membuat hati orang lain hancur. Bahkan, pembatalan tersebut bisa sampai ke tingkatan haram, yaitu apabila si wanita telah menaruh kecenderungan kepada si peminang, sementara para peminang yang lain telah tertutup jalannya untuk meminang dirinya, kemudian si peminang itu membatalkan pinangannya. Allah l berfirman, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaff [61] : 3).
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi n bersabda:

آيَةُ اْلمُنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا أؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ

”Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; bila berbicara ia berdusta, bila dipercaya ia khianat, dan bila berjanji ia menyelisihi.”
3.    Bila pembatalan tersebut disebabkan adanya peminang lain yang datang kepadanya, maka hal ini adalah haram, berdasarkan apa yang telah kita bahas sebelumnya.

Etika Menolak Pinangan
Sebagai agama yang menekankan kasih sayang di tengah-tengah umatnya, Islam memerintahkan agar kita menghargai perasaan orang lain. Tak ketinggalan, dalam masalah pinangan, Islam memberikan suri tauladan yang baik bagaimana kode etik dalam menolak sebuah pinangan, bilamana jalan tersebut adalah pilihan terbaik bagi seseorang.
Dalam Islam, seorang wanita juga boleh menawarkan dirinya sendiri kepada seorang laki-laki shalih agar menikahinya, jika aman dari fitnah. Hal ini pernah terjadi dalam kisah seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi n. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bab ‘Ardhil Mar‘ati Nafsaha ‘alar Rajulish Shalih, dari hadits Sahl bin Sa‘ad, bahwa ada seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi n. Kemudian ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya.” “Apa yang kamu miliki (sebagai maharnya)?” tanya beliau. “Saya tidak memiliki apa-apa.” “Pergi dan carilah walaupun hanya cincin yang terbuat dari besi.”
Orang itu pun pergi lalu kembali lagi seraya berkata, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi. Namun, saya memiliki sarung ini, dan wanita tersebut berhak atas setengah sarung ini.” Sahl menambahkan, “Orang tersebut tidak memiliki pakaian sama sekali (kecuali sarungnya).” Maka Rasulullah bersabda, ‘Apa yang dapat engkau perbuat dengan setengah sarungmu itu, saat engkau memakainya?” Setelah duduk lama, orang itu pun beranjak pergi.
Saat beliau melihatnya, beliau pun memanggilnya—atau dipanggil untuk menghadap beliau--. Beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki hafalan Al-Quran?” “Saya hafal surat ini dan itu—yaitu beberapa surat--.” Nabi n lalu bersabda, “Aku menjadikan wanita itu sebagai milik (istri) mu dengan mahar hafalan Al-Quran yang ada padamu.”
Demikian pula, seorang wali boleh menawarkan wanita yang perwaliannya ada di tangannya kepada orang-orang yang memiliki kebaikan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khaththab ketika menawarkan putrinya, Hafshah x, kepada Utsman bin Affan, lalu kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq c.
Bukhari telah meriwayatkan dalam hadits no. 5122, kitab An-Nikah, dari Abdullah bin Umar c bahwa ia berkata, “Tatkala Hafshah binti Umar menjadi janda setelah bercerai dengan Khunais bin Hudzafah As-Sahmi—salah seorang sahabat Rasulullah n yang wafat di Madinah--, maka Umar bin Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi Utsman bin Affan dan aku tawarkan Hafshah kepadanya. Utsman menjawab, ‘Saya akan mempertimbangkannya.’ Aku menunggu selama beberapa malam. Kemudian ia menemuiku seraya berkata, ‘Saya pikir, pada waktu ini aku belum berminat untuk menikah.’”
Umar melanjutkan, “Aku lalu menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan menikahkanmu dengan Hafshah binti Umar.’ Abu Bakar hanya diam dan tidak memberi jawaban kepadaku. Maka, aku pun tahu bahwa ia akan menjawab sebagaimana jawaban Utsman. Lantas, aku pun berdiam diri selama beberapa malam. Beberapa malam kemudian, Rasulullah n meminang Hafshah, maka aku pun menikahkannya untuk beliau. Setelah itu, Abu Bakar menemuiku seraya berkata, ‘Barangkali engkau marah kepadaku saat engkau menawarkan Hafshah dan aku tidak memberi jawaban kepadamu?’ Aku pun menjawab, ‘Benar.’
Abu Bakar berkata, ‘Tidak ada yang mencegahku untuk memberikan jawaban kepadamu atas sesuatu yang engkau tawarkan kepadaku, melainkan karena aku telah mendengar bahwa Rasulullah n telah menyebut-nyebut namanya (Hafshah). Dan, aku tidak mau membuka rahasia beliau. Seandainya beliau tidak menikahinya, tentu aku akan menerimanya’.”
Dalam Fathul Bari, IX : 178, Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ulasan hadits ini dengan pernyataannya, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil mengenai bolehnya seseorang untuk menawarkan anak perempuannya atau wanita-wanita lain yang menjadi tanggung jawabnya kepada seseorang yang dipercaya kebaikan dan keshalihannya. Sebab, dalam hal ini ada manfaat bagi orang yang ditawarkan dan ia tidak merasa malu dalam hal tersebut.
Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa menawarkan seorang wanita kepada orang yang telah beristri tidak ada salahnya. Sebab, pada saat itu, Abu Bakar pun telah beristri. Bahkan, persoalan semacam ini juga telah berlaku dalam syari‘at umat sebelum kita. Yaitu, Nabi Syu‘aib, orang shalih, yang telah berkata kepada Musa q seperti yang disebutkan dalam al-Quran, “Dia (Syu’aib) berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.” (Al-Qashash [28] : 178). Riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan dibolehkannya menolak tawaran. Tapi, tentunya harus dengan cara yang baik.
Secara khusus, seorang wanita dibolehkan menolak sebuah pinangan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai izin. Seorang gadis tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulallah, bagaimana tanda persetujuan seorang gadis?” Beliau menjawab, “Tanda persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan selainnya)
Hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa bila seorang laki-laki ingin menikahi seorang wanita, baik janda ataupun gadis, maka harus dengan izin atau persetujuan wanita itu terlebih dahulu. Itu berarti seorang wanita mempunyai hak untuk menerima atau menolak lamaran seseorang. Karena pembatalan juga menunjukkan ketidaksetujuan untuk dinikahi, dan cukuplah hadits di atas sebagai dalilnya.
Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa ada seorang gadis menemui Rasulullah lalu bercerita tentang ayahnya yang menikahkannya dengan laki-laki yang tidak ia sukai. Maka, Rasulullah memberi hak kepadanya untuk memilih.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Dalam riwayat Ahmad dan Nasa'i disebutkan bahwa wanita tersebut, lalu ia berkata, “Aku telah mengizinkan apa yg dilakukan bapakku itu. Hanya saja, aku ingin kaum wanita tahu bahwa seorang ayah itu tidak berhak memaksa anaknya kawin dengan seseorang.”
Dengan demikian, maka membatalkan pinangan itu dibolehkan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, dengan tetap melihat kemashlahatan kedua belah pihak. Sehingga, kalaupun pinangan harus pupus di tengah jalan, namun ukhuwah islamiyah tetap terjalan dan tidak sampai tali silaturrahmi terputus. Hal tersebut dapat terwujud bilamana setiap muslim menyadari bahwa permasalahan jodoh adalah salah satu bagian dari takdir dari Allah Ta'ala.*
Abu Hudzaifah, Lc. Penulis adalah penerjemah dan penulis buku-buku islami

JANGAN DURHAKAI ANAKMU

PERNAH suatu ketika ada seorang bapak yang mengeluh kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab ra mengenai anaknya yang durhaka. Orang itu mengatakan bahwa putranya selalu berkata kasar kepadanya dan sering kali memukulnya. Maka, Umar pun memanggil anak itu dan memarahinya.

“Celaka engkau! Tidakkah engkau tahu bahwa durhaka kepada orangtua adalah dosa besar yang mengundang murka Allah? Bentak Umar.

“Tunggu dulu, wahai Amirul Mukminin. Jangan tergesa-gesa mengadiliku. Jikalau memang seorang ayah memiliki hak terhadap anaknya, bukankah si anak juga punya hak terhadap ayahnya?” Tanya si anak.

“Benar,” jawab Umar.

“Lantas, apa hak anak terhadap ayahnya tadi?” lanjut si Anak.

“Ada tiga,” jawab Umar. “Pertama, hendaklah ia memilih calon ibu yang baik untuk putreanya. Kedua, hendaklah ia menamainya dengan nama yang baik. Dan ketiga, hendaklah ia mengajarinya al-Quran.”

Maka, si Anak mengatakan, “Ketahuilah wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak pernah melakukan satu pun dari tiga hal tersebut. Ia tidak memilih calon ibu yang baik bagiku; ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar seharga dua dirham, lalu malamnya ia gauli sehingga ia hamil mengandungku. Setelah aku lahir pun ayah menamaiku Ju’al, dan ia tidak pernah mengajariku menghafal al-Quran walau seayat.”

Ju’al adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada kotoran hewan. Bisa juga diartikan seorang yang berkulit hitam dan berparas jelek atau orang yang emosional. (Lihat Al-Qamus Al-Muhith, hal. 977).

“Pergi sana! Kaulah yang mendurhakainya sewaktu kecil, pantas kalau ia durhaka kepadamu sekarang,” bentak Umar kepada si Ayah. (Disadur dari kuthbah Syaikh Dr. Muhammad Al-Arifi, Mas’uliyatur Rajul fil Usrah. Lihat Ibunda Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, hal. 11-12.)

Pembaca budiman, satu hal yang perlu kita renungkan dari kisah di atas adalah; cobalah untuk menengok diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Bisa jadi, ada sesuatu yang salah pada diri kita.

Piilihkan Calon Ibu yang Shalihah

Hendaklah setiap muslim memilihkan bagi anak-anaknya seorang ibu muslimah yang mengenal hak Rabbnya, hak suami dan hak anak. Hendaklah ia memilihkan ibu yang mengenal tugas hidupnya. Seorang ibu yang mengenal posisinya di dalam hidup ini. Seorang ibu yang memiliki rasa kecemburuan terhadap agama dan sunnah Nabinya -sholallahu 'alaihi wasallam-.

Hal ini karena seorang ibu adalah madrasah yang akan meluluskan anak-anak Anda. Apabila ibu tersebut baik, maka ia akan menyusukan kebaikan dan ketakwaan. Namun bila ibu tersebut buruk, maka ia akan memberikan keburukan juga. Sebagai contoh nyata, Zubair bin ‘Awam. Ia merupakan hasil dari didikan ibundanya, Shafiyah binti Abdul Muththalib, sehingga ia pun tumbuh di atas tabiat dan budi pekertinya. Di kemudian hari, ia pun memilihkan calon ibu bagi anak-anaknya seorang wanita mulia, Asma binti Abu Bakar. Sehingga, ia pun melahirkan generasi orang-orang yang memiliki keagungan, Abdullah, Al-Mundzir dan ‘Urwah.

Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu 'anhu- dididik oleh dua wanita mulia; di waktu kecil ia bersama ibunya, Fathimah binti Asad dan ketika menginjak remaja ia bersama Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- .

Abdullah bin Ja’far adalah penghulunya bangsa Arab yang paling dermawan sekaligus pemuda Arab yang cerdas. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Maka ibunya, Asma binti ‘Umais berusaha untuk membesarkannya. Ia adalah sosok ibu yang memiliki keutamaan dan kecerdasan yang luar biasa.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah adalah orang yang pandai dan cemerlang. Ia telah mewarisi dari ibunya, Hindun binti ‘Utbah sesuatu yang tidak ia warisi dari ayahnya, Abu Sufyan. Hindun berkata ketika anaknya, Mu’awiyah berada di dalam dekapannya, “Apabila Mu’awiyah hidup dalam umur panjang, maka ia akan memimpin kaumnya.” Ia juga bertutur, “Celakalah kaumnya apabila tidak dipimpin seseorang dari kaumnya.” Kelak, bila Mu’awiyah -radhiyallahu 'anhu- memiliki kebanggaan dengan kemampuan dan keahliannya dalam berpendapat, maka ia selalu menisbatkannya kepada ibunya sehingga akan mengetarkan pendengaran musuh-musuhnya, seraya berkata, “Saya adalah anak dari Hindun.”

Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz termasuk raja yang paling menakjubkan, adil dan mulia. Ibunya, Ummu ‘Ashim binti ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Ia adalah orang yang paling sempurna di zamannya dan yang paling mulia. Ibunya adalah seorang wanita yang dinikahkah oleh Umar dengan anaknya, ‘Ashim. Tidak ada yang dibanggakan darinya baik dari segi harta maupun nasab kecuali perkataannya yang jujur ketika menesehati ibunya. Dialah yang menurunkan akhlak kakeknya Al-Faruq kepada Umar bin Abdul Aziz.

Pilihkan Nama yang Terbaik

Hendaklah seorang muslim memilih nama-nama yang terbaik dan terindah sebagai bentuk pelaksanaan atas apa yang telah ditunjukkan dan dianjurkan oleh Nabi -sholallahu 'alaihi wasallam-. Dari Abu Darda’ -radhiyallahu 'anhu-, ia berkata : Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda:

إِنَّكُم تُدْعَونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُم وَأَسْمَاءِ آبَائِكُم فأَحْسِنُوا أَسْمَاءَكُم

“Sesungguhnya kalian akan dipanggil di hari Kiamat dengan nama-nama anak kalian dan dengan nama ayah-ayah kalian. Maka perbaguslah nama kalian.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad hasan)


Dari Ibnu Umar -radhiyallahu 'anhu-, ia berkata : Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللّهِ عَبْدُ اللّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَـنِ

“Sesungguhnya nama-nama kalian yang paling disukai oleh Allah Azza wa Jalla adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya).

Ajarkan al-Quran kepada Anak

Dalam al-Quran terkandung sejumlah Tarbiyah Imaniyah. Yang dimaksud Tarbiyah Imaniyah adalah mengikat si kecil sejak ketergantungannya kepada pilar-pilar keimanan, membiasakannya sejak ia memahami rukun-rukun Islam, serta mengajarkannya pokok-pokok syariat Islam yang mulia semenjak masa tamyiz (mampu membedakan mana yang hak dan mana yang bathil)

Mengajarkannya pilar-pilar keimanan, seperti; iman kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan iman kepada para Rasul-Nya, mengimani adanya pertanyaan dua malaikat, adzab dan nikmat kubur, pembangkitan, surga dan neraka dan semua perkara-perkara yang ghaib.
Mengajarkan rukun-rukun Islam, seperti; shalat, puasa, zakat dan haji. Mengajarkannya dasar-dasar syariat Islam, seperti; peradilan Islam, hukum-hukum Islam, undang-undang dan peraturan dalam Islam.

Dari sinilah akan lahir beberapa hal, di antaranya:

Pertama, Hubbullah (cinta kepada Allah ta’ala). Yaitu dengan menunjukkan nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya kepada si kecil. Misalnya, bila si ayah duduk-duduk bersama si kecil ketika sedang makan seraya mengatakan kepadanya: ‘Nak, tahukah engkau siapakah yang telah memberikan makanan ini kepada kita?’

Si kecil akan menjawab: ‘Siapakah wahai ayah?’

Si ayah bertutur: ‘Allah’.

Si kecil balik bertanya: ‘Terus, bagaimana ayah?’

Maka si ayah menjelaskan: ‘Nak, karena Allah yang telah memberi rizqi kepada kita dan kepada semua manusia, maka bukankah Ilah ini yang berhak engkau cintai?’
Si kecil akan menjawab: ‘Tentu, ayah’

Seandainya si kecil sedang sakit, maka orangtua akan membiasakannya untuk selalu berdoa, seraya berkata: ‘Nak berdoalah kepada Allah semoga menyembuhkanmu, sebab Dia-lah yang memiliki penyembuhan’, lalu mendatangkan seorang dokter dan mengatakan: ‘Dokter ini hanya sekedar perantara saja, namun kesembuhan hanya datang dari Allah’. Apabila Dia mentaqdirkan kesembuhan bagi si kecil, maka orantg tua mengatakan: ‘Nak, bersyukurlah kepada Allah’, lalu menjelaskan kepadanya nikmat-nikmat Allah, sehingga si kecil akan mencintai-Nya, sebab Dia-lah yang telah mengaruniakan kesembuhan baginya.

Demikian seterusnya dalam setiap kesempatan dan dalam setiap mendapatkan kenikmatan hendaklah engkau selalu mengaitkannya kepada Yang Memberi nikmat, sehingga dalam hati si kecil tertanam rasa cinta kepada Allah.

Kedua, Hubburrasul (cinta kepada Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- ). Yaitu dengan mengajarkan kepada si kecil sikap-sikap Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- , keberanian, konsisten, kelemah lembutan, kemurahan, kesabaran dan keihklasan beliau. Dengan hal ini, seorang anak akan mencintai Nabinya -sholallahu 'alaihi wasallam- .

Ketiga, Muraqabatullah (menumbuhkan sifat merasa terus diawasi oleh Allah Tabaaraka wa ta’ala). Yaitu dengan mengajarkan kepada si kecil bahwa Allah selalu mengetahui dirinya dalam setiap gerakan dan diamnya, sehingga si kecil akan merasa terus diawasi oleh Allah, takut kepada Allah dan ikhlas dalam setiap amalannya hanya mencari keridhaan Allah.

Keempat, Mengajarkan kepada si kecil hukum-hukum halal dan haram. Hendaklah orangtua menjelaskan kepada si kecil tentang hal-hal yang haram sehingga ia bisa menjauhinya, hal-hal yang halal dan mubah agar ia bisa melakukannya serta menjelaskan adab-adan islami supaya ia bisa melaksanakannya.

Semoga kita senantiasa dibimbing oleh Allah agar mampu memenuhi hakhak anak, sehingga kita tidak sampai menzhaliminya, apalagi menyandang gelar orangtua yang durhaka kepada anaknya. *

Abu Hudzaifah, Lc. Penulis seorang penerjemah dan penulis buku-buku islami